Memberantas Buta Program Dengan Bahasa Python
Abstrak
Perkembangan teknologi maklumat (informasi) yang cepat tanpa diikuti oleh kemampuan
sumber daya manusia untuk menguasainya menyebabkan bangsa Indonesia cenderung menjadi
konsumen informatika ketimbang menjadi produsen, baik perangkat keras maupun perangkat
lunak. Indonesia juga kekurangan tenaga pemogram sehingga banyak pemogram dari India dan
Filipina yang bekerja di Indonesia.
Dari segi perangkat keras, Indonesia tampaknya sulit untuk bersaing dalam jangka pendek dan
menengah dengan negara yang memiliki budaya industri elektronika yang sudah mapan. Tetapi
dalam bidang perangkat lunak, peluang terbuka lebar, asal Indonesia dapat mendidik sebanyak
mungkin sumber daya manusia untuk memampukan mereka menulis kode pemrograman.
Selama ini, kebanyakan orang Indonesia cenderung hanya belajar untuk menggunakan perangkat
lunak terapan (aplikasi) yang berada di lapisan luar, jauh dari inti ilmu komputer, sehingga tidak
mampu mengendalikan komputer di luar kerangka yang dibuat oleh perusahaan pembuat terapan
tersebut.
Paduan yang semakin erat antara teknologi informasi dan komunikasi, memungkinkan perusahan
besar mengendalikan jaringan komputer dari luar jurisdiksi tradisional sebuah negara.
Akibatnya, pengguna komputer di Indonesia tidak mampu mengendalikan penggunaan jaringan
komputer untuk kepentingan nasional dan beresiko terperangkap dalam program terapan bikinan
perusahaan asing.
Indonesia sering terbata-bata menghadapi perilaku perusahaan informatika raksasa yang
merugikan kepentingan nasional, misalnya tidak mau membayar pajak dari operasinya di
Indonesia, enggan untuk membasmi faham yang bertentangan dengan norma dan adat kebiasaan
Indonesia seperti situs pornografi, kekerasan, dll. Pemerintah terkesan ragu-ragu menutup
operasi perusahaan tersebut di Indonesia, karena kalau ditutup rakyat Indonesia tidak punya
pilihan untuk beralih kepada perangkat lunak alternatif. Indonesia beresiko menjadi sangat
tergantung atau malah terperangkap dalam permainan perusahaan asing yang membuat perangkat
lunak.
Berdasarkan kenyataan di atas, adalah suatu hal yang mendesak untuk memberantas ‘buta huruf’
pemrograman komputer di kalangan rakyat dengan mendorong mereka menguasai bahasa
pemrograman. Dengan jumlah penduduk 250 juta jiwa, membina 1% saja penduduk yang mahir
pemrograman, akan memunculkan generasi melek pemrograman yang mampu membuat
berbagai perangkat lunak yang kreatif untuk memudahkan kehidupan manusia. Apalagi kalau
kita mampu mendidik 10% penduduk; hal ini akan menjadikan Indonesia berpotensi menjadi
negara produsen perangkat lunak yang besar. Keahlian pemrograman tidak harus dari kalangan yang berlatar belakang informatika saja, tetapi juga dari segala bidang, mengingat komputer
semakin merasuk dalam seluruh aspek kehidupan.
Sejak awal abad 21, manusia memasuki suatu masa yang disebut sebagai revolusi industri ke
empat (Industri 4.0). Revolusi industri pertama berlangsung sejak tahun 1760 yang ditandai
dengan penggunaan energi air dan uap. Revolusi industri ke dua dimulai sejak tahun 1870
dimana manusia mulai menggunakan energi listrik dan memulai produksi secara massal di
pabrik-pabrik. Sejak tahun 1960-an, dimulai revolusi industri ketiga dimana manusia beranjak
dari teknologi mekanik dan elektronik analog ke elektronik digital serta otomatisasi dalam
produksi industri. Revolusi industri ke empat ditandai dengan otomatisasi yang dari jarak jauh
yang terhubung dengan jaringan internet mobil (internet benda / internet of thing (IoT)),
melimpahnya komputer dalam segala bidang, kecerdasan buatan, dan pembelajaran mesin (alat
bisa belajar sesuatu hal baru secara otomatis dengan data yang dicecokkan kepadanya).
Supaya tidak tergilas oleh revolusi ini, ‘kecelikan pemrograman’ (programming literacy) perlu
diberikan kepada generasi muda. Kalau dalam abad 20 murid dididik untuk menguasai BTH
(baca, tulis, hitung ) maka dalam abd 21 murid diajarkan untuk menguasai BTHP (baca, tulis,
hitung, program).
Negara maju sangat memahami peran strategis ‘celik/ melek pemrograman’ bagi warganya
dalam rangka memperkuat industri kreatif mereka di masa depan. Mereka mulai mendidik muridmurid sekolah untuk mulai belajar bahasa komputer sejak usia kecil dan remaja. Jepang
memasukkan materi pemrograman komputer ke dalam kurikulum pendidikan mulai dari usia 12
tahun, AS (Massachusetts, 12 tahun), Italia (14 tahun), Finlandia (14-16 tahun), Serbia (15
tahun), dan Singapura (16 tahun). Sebelum belajar pemrograman, murid-murid tersebut sejak
usia 6 tahun (di Massachusetts) sudah lebih dahulu diajarkan pengenalan teknologi informatika
dan komunikasi (TIK) melalui penggunaan perangkat lunak terapan seperti menulis,
menggambar, menghitung, dsb. Dalam penggunaan teknologi informasi, anak Indonesia
mungkin tidak kalah dengan anak Massachusetts, cuma mungkin anak Indonesia kurang
diarahkan untuk menggunakan perangkat TIK tersebut untuk menghasilkan sesuatu yang kreatif
dan produktif, tetapi lebih ke arah hiburan.